Angkor Wat.
Rupanya saya telah mencintai Angkor Wat, jauh sebelum mengunjunginya secara fisik dan mungkin jauh sebelum saya menyadarinya. Laksana sebuah benang yang saling terkait satu sama lain, kegemaran akan candi-candi kuno menyeruak ke permukaan jiwa sejalan dengan semakin seringnya saya mengunjungi bangunan-bangunan batu yang sudah dimulai sejak kecil itu. Apalagi dalam dekade belakangan ini ada banyak kemudahan ke luar negeri, sehingga tiba-tiba saja muncul keinginan untuk mengunjungi Angkor Wat, sebuah kompleks percandian yang terletak di Kamboja. Namun, entah mengapa keinginan kuat untuk pergi ke kuil majestic itu bisa dibilang maju mundur karena tak bisa diabaikan bahwa saya takut akan hantu-hantu korban kekejaman Khmer Merah yang mungkin gentayangan. Akibatnya kunjungan itu tertunda terus.
Sampai akhirnya saya melihat miniatur Angkor Wat ketika sedang mengunjungi Grand Palace, Bangkok. Rasanya, saya tertampar sangat keras. Rasanya saya dipertanyakan tentang keseriusan berkunjung ke Angkor Wat. Saat itu juga, saya berkomitmen untuk menjejak ke Angkor Wat, dengan cara apapun. Miniatur Angkor Wat di Bangkok saja begitu bagus apalagi mengunjunginya dan menyaksikan The Real Angkor Wat secara langsung, dengan mata kepala sendiri.
Dan benarlah, di tahun 2011 itu saya menjejak Angkor Wat untuk pertama kali dan dua kali lagi di tahun yang sama and still counting. Hampir setiap tahun setelah itu, saya menjejak Angkor Wat. Bosan? Tidak pernah!
Saya menikmati keindahan matahari terbit di sana, sendiri dan juga bersama teman di kesempatan lain. Menikmati magisnya lorong panjang dengan tiang-tiangnya serta jendela-jendela yang berkisi batu berulir. Mengitari lantai-lantai Angkor Wat dari level terendah hingga lantai teratasnya, menikmati setiap cerita relief yang panjang dan juga menikmati setiap lekuk apsara, dewata dan ukiran yang menghias dinding candi, menikmati keindahan arsitekturnya dari warung lokal jauh di sudut halamannya. Saya juga menikmati jalan-jalan di bawah rimbunnya pepohonan yang tumbuh subur di sekitar Angkor Wat. Saya pun pernah menikmati kehebohan Tahun Baru Khmer di Angkor Wat. Tak terlewatkan, saya pun pernah berjalan serta berlari dalam hujan di Angkor Wat. Rasanya setiap jengkal saya menikmati Angkor Wat, serasa sebagai rumah jiwa. Pokoknya, ketika saya berada di Angkor Wat, saya merasa pulang, saya ada di rumah, at home. Kok bisa ya? Entahlah…





Dan hampir setiap perjalanan ke Angkor Wat, berarti mampir juga di Phnom Penh, ibukota negeri itu.
Saya teringat ketika berkunjung ke Royal Palace di Phnom Penh untuk pertama kalinya, saya melihat miniatur Angkor Wat yang ada di halaman Silver Pagoda. Langsung saja saya merasa deja vu, mengingat miniatur Angkor Wat yang serupa yang berada di Grand Palace, Bangkok, yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Meskipun ingatan itu berbentuk kilasan, saya tak pernah bisa mengabaikan pertanyaan di benak. Mengapa ada miniatur Angkor Wat di Grand Palace Bangkok? Jika miniatur Angkor Wat dibuat di sebuah kawasan wisata, saya bisa memahami tetapi miniatur di Bangkok ada di kawasan istana Raja (walaupun istana itu kini tak digunakan lagi)
Rasa ingin tahu itu membuat saya menyelam mencari di Internet dan terperangah ketika mengetahuinya. Ternyata Raja Mongkut (Rama IV) pada tahun 1860 memang pernah memerintahkan agar Angkor Wat untuk dibongkar dan dibangun kembali di ibukota Thailand di Bangkok untuk menunjukkan dominasi Thailand terhadap Kamboja. Sudah disediakan tempat untuk membangun kembali Angkor Wat di Bangkok, yaitu di atas tanah dekat Wat Pathum, yang sekarang ini tak jauh dari Mall Siam Paragon dan Central World. Bisa dibilang, lokasinya benar-benar strategis di pusat kota Bangkok.
Membongkar satu demi satu lalu membangun kembali Angkor Wat bukan pekerjaan sederhana, bahkan bisa dibilang pekerjaan yang tak mungkin dilakukan karena Angkor Wat merupakan bangunan keagamaan terbesar di dunia. Konon, ada 10 juta batu yang beratnya masing-masing lebih dari 1 ton yang diperlukan untuk membangun Angkor Wat.
Dua kali ekspedisi dikirim namun keduanya gagal untuk memulai proyek luar biasa itu. Dengan keharusan membongkar satu demi satu hingga jutaan batuan kuil lalu mengangkutnya dengan berat yang tak ringan, lalu harus menempuh jarak hingga 400 km melewati hutan yang tidak mudah ditembus dan juga menjadi sarang pejuang Khmer yang tidak mau menerima dominasi Thailand atas negerinya, serta merekonstruksi kembali Angkor Wat sesuai aslinya, memang berada di luar kemampuan dua ekspedisi yang dikirim oleh Raja Mongkut. Jangankan Angkor Wat, Ta Phrom yang lebih kecil sebagai alternatifnya saja mereka tak mampu dan memilih menyerah.

Akhirnya Raja Mongkut mengalah dan hanya meminta model dari Angkor Wat itu dibangun di halaman Wat Phra Kaew dan selesai pada tahun 1869.
Tetapi apakah keinginan Raja Mongkut itu sekedar show-off terhadap Kamboja ataukah ada kerinduan akan keagungan Angkor Wat yang nota bene merupakan kuil Hindu beraliran Wisnu yang salah satu avatarnya adalah Rama yang namanya digunakan sebagai nama raja-raja Thailand?
Apapun alasannya untuk membongkar dan membangun kembali Angkor Wat hampir dua abad lalu itu, kenyataannya rasa “superior” Thailand atas Kamboja masih muncul di masa modern ini.
Preah Vihear
Tidak hanya Angkor Wat yang dibuat miniaturnya di Bangkok, Thailand, karena faktanya Preah Vihear juga. Saya berkesempatan mengunjungi kuil aslinya Preah Vihear pada tahun 2012 ketika kawasan itu masih menjadi zona konflik antara Thailand dan Kamboja karena perbedaan pandangan terhadap garis batas wilayah. Dan karena konflik itu, Preah Vihear yang indah itu juga mengalami akibat buruknya. Di beberapa tempat dinding kuil yang telah berusia berabad-abad itu mengalami kerusakan akibat peluru dan serpihan ledakan mortir. Miris sekali rasanya melihat itu semua. Kala itu, UNESCO sampai mengibarkan benderanya di lokasi itu, paling tidak untuk saling mengingatkan pihak yang bertikai akan tingginya nilainya Preah Vihear sebagai pusaka milik dunia yang harus dipertahankan bersama-sama.
Lokasi Preah Vihear memang tak jauh dari garis batas wilayah yang dipermasalahkan oleh Thailand. Dari tingkatan Preah Vihear yang paling rendah, tinggal menuruni tangga yang cukup curam sampailah di pintu masuk kuil lalu dengan sedikit berjalan kaki, maka kita akan sampai di perbatasan negara Kamboja dan Thailand (saya tidak yakin perbatasan kedua negara di lokasi ini sudah dibuka kembali). Saya sendiri harus menempuh perjalanan panjang seharian penuh ke Utara Siem Reap saat berkunjung ke Preah Vihear. Jadi ketika Thailand dan Kamboja bertikai mengenai garis batas wilayah, secara otomatis pertikaian itu mencakup kawasan Preah Vihear. Atau apakah memang sejatinya justru Preah Vihear yang menjadi tujuan utama? Lagi-lagi hanya jawaban yang menggantung di udara…
Tetapi yang pasti kuil Preah Vihear yang tercatat sebagai UNESCO World Heritage Site, menjadi garansi tak terbantahkan untuk mendatangkan turis mancanegara yang tentu saja bisa menambah tinggi pundi-pundi negara. Siapa sih yang tak tertarik melihat devisa yang mengalir lancar?
Preah Vihear sebagai Kuil Hindu awal abad-11 yang didirikan atas perintah Raja Suryavarman I ini, berlokasi di pinggir tebing dari pegunungan Dangrek dan memiliki pemandangan yang luar biasa. Hanya selemparan batu dari dinding kuil, tepat di puncak bibir tebing, terlihat pemandangan negeri Kamboja yang terhampar sangat luas. Apalagi bila mengunjungi Preah Vihear saat matahari tenggelam. Tentu di bagian Barat yang berhias perbukitan menampilkan langit yang berwarna kuning keemasan, menjanjikan suasana matahari tenggelam penuh kenangan. Jika Angkor Wat terkenal dengan keindahannya saat sunrise maka Preah Vihear memiliki keindahannya tersendiri saat sunset.



Kenangan tak terlupakan di Preah Vihear itu, membuat saya merasa terjun bebas ketika mengunjungi bangunan yang dibuat menyerupai Preah Vihear di bukit buatan setinggi 54 meter dalam kawasan Muang Boran, di pinggir kota Bangkok. Menyerupai Taman Mini di Indonesia dan berfungsi sebagai museum terbuka, Muang Boran ini memiliki miniatur-miniatur dari bangunan bersejarah Thailand yang menjadi kebanggaan negeri gajah putih itu dan salah satunya adalah miniatur Preah Vihear!
Miniatur Preah Vihear yang ada di Muang Boran konon memiliki skala sekitar setengah, meskipun saya merasa tidak yakin karena aslinya Preah Vihear itu sangat luas dan cukup melelahkan untuk sampai ke tingkat paling atas yang berada di puncak bukit. Di Muang Boran, bukitnya buatannya sendiri hanya sekisar sepersepuluh besar bukit aslinya yang menurut saya, lagi-lagi tidak tepat. Pemandangan dari atas bukit buatan itu sangat berbeda dengan pemandangan dari puncak bukit asli dari Preah Vihear. Seperti langit dan bumi perbedaannya.

Dan lagi-lagi saya bertanya dalam hati, mengapa Preah Vihear dimasukkan ke dalam bangunan yang berdiri di Muang Boran? Bukankah Muang Boran itu hanya berisikan sejarah dan budaya Thailand? Sepanjang sepengetahuan saya, bangunan di Muang Boran yang tidak ada dalam wilayah negeri Thailand hanya Preah Vihear.
Dan saya menarik nafas panjang sambil merasa miris membaca di websitenya apa yang dituliskan tentang Preah Vihear, -di Thailand dikenal dengan nama Phra Wihan (Phra Viharn)-, sebagai bagian dari Thailand!
In the geographical aspect, Prasat Phar Wihan stands within the Thai boundary because all small streams that come from the top of the hill run down directly into the Mun River in northeastem Thailand. Also, from the Thai border, Prasat phra Wihan is more easily accessed than from Cambodia. The local people in the Northeast normally walk up by the streams to the summit of the hill while the Cambodians have to climb up broken staircases which are too steep to climb up comfortably.
Rasanya tetap miris apalagi jika melihat dari sisi ekonomi. Thailand yang sejak dulu kaya raya, tampil bak raksasa penuh senjata menantang negeri Kamboja yang masih harus berjuang menjadi negara sejahtera setelah dihajar berkali-kali perang saudara hingga genosida. Kamboja yang berabad lalu memiliki wilayah yang amat luas, -termasuk sebagian besar wilayah yang kini menjadi Thailand modern-, tentunya memiliki impian indah bisa mempertahankan wilayahnya dan kekuatan budayanya dari tindakan superior negeri tetangganya itu. Sayangnya, dengan perjalanan waktu selama berabad-abad, batas wilayah Kamboja yang tadinya luas kini bisa dibilang kian menciut.
Apapun alasan Thailand untuk membangun miniatur kuil-kuil utama baik Angkor Wat maupun Preah Vihear, tetap saja semua itu hanyalah sebuah miniatur, bukan yang asli, tidak akan pernah yang orisinal. Sedangkan aslinya, yang berdiri anggun di bumi Kamboja tetap tak bisa terbandingkan, bagaimanapun kondisinya.
Andaikan Angkor Wat pindah ke Thailand, Kamboja akan kehilangan harta miliknya yang paling berharga. Mungkin kita hanya akan kenal Kamboja karena sejarah kelamnya saja.
Benderanya ganti dong Na…
Ah iya.. bener juga Mba..